Study Tour Dilarang – Larangan study tour oleh sejumlah pemerintah daerah baru-baru ini memantik kontroversi hebat. Alasan utamanya: keselamatan siswa. Namun di balik argumen itu, meletup keresahan dari pelaku industri pariwisata yang merasa di pangkas napas usahanya secara mendadak. Padahal, study tour bukan sekadar ajang jalan-jalan. Di banyak kasus, kegiatan ini membawa nilai edukatif yang sulit di peroleh hanya dari buku pelajaran atau ruang kelas.
Pengusaha travel, pengelola tempat wisata, hingga pemandu lokal kini berteriak. Bagi mereka, pelarangan ini tidak hanya mengganggu roda ekonomi, tapi juga mencerminkan cara pandang sempit terhadap konsep pendidikan holistik. “Kalau memang tujuannya edukatif, kenapa harus dilarang? Bukankah belajar bisa di mana saja?” seru seorang pelaku industri wisata dari Yogyakarta yang enggan disebutkan namanya.
Belajar Tidak Harus Di Dalam Kelas
Study tour sejatinya bukan produk konsumtif semata. Kegiatan ini memadukan pengalaman visual, interaksi sosial, hingga eksplorasi langsung terhadap topik-topik pembelajaran seperti sejarah, geografi, sains, dan budaya. Ketika siswa mengunjungi museum, pabrik industri kreatif, kebun botani, atau pusat konservasi, mereka tak hanya mendapatkan informasi, tetapi juga pengalaman emosional yang melekat lebih lama dari teori.
Di lapangan, banyak guru justru memanfaatkan study tour sebagai alat penguat pembelajaran. Mereka menyusun soal, tugas laporan, dan proyek presentasi berbasis perjalanan. Jadi, alih-alih jadi ajang bersenang-senang semata, kegiatan ini di ubah menjadi alat pendidikan aktif. Melarangnya secara membabi buta tanpa membedakan konteks hanyalah bentuk kemalasan berpikir dari para pembuat slot server kamboja.
Ekonomi Lokal Terpukul Diam-Diam
Dampak larangan study tour juga menghantam sektor ekonomi yang selama ini menggantungkan hidup dari rombongan pelajar. Mulai dari penyedia transportasi, hotel, warung makan, hingga pedagang kecil di lokasi wisata, semuanya menjerit pelan. Mereka tidak punya lobi kuat di pemerintah. Suara mereka tenggelam di balik narasi keamanan dan moralitas yang di gembar-gemborkan.
“Setiap musim liburan sekolah atau akhir tahun ajaran, kami bisa menggaji karyawan tambahan, bayar supplier lebih banyak, karena tamu membludak. Tapi sekarang? Sepi, dan tidak ada kompensasi dari pemerintah,” keluh seorang pemilik penginapan di Lembang. Ia mengaku sejak larangan di umumkan, tingkat hunian hotel miliknya turun drastis hingga 60 persen.
Solusi Bukan Pelarangan, Tapi Pengaturan
Bukankah jauh lebih masuk akal jika pemerintah membuat regulasi pengawasan yang lebih ketat ketimbang membabat habis kegiatan ini? Misalnya, mewajibkan daftar tempat tujuan edukatif yang terverifikasi, menetapkan SOP keselamatan perjalanan, hingga memberi pelatihan pada guru pendamping.
Pelaku industri mengaku siap jika harus mengikuti standar baru. Yang mereka tolak adalah pelarangan total tanpa solusi alternatif. Pemerintah di anggap gegabah dan hanya mencari jalan cepat tanpa memikirkan implikasi jangka panjang. Apalagi, tidak semua sekolah melakukan study tour dengan semangat komersial. Banyak sekolah negeri dan swasta yang merancang perjalanan ini sebagai bagian dari kurikulum slot77.
Narasi Media yang Memperkeruh
Media pun ikut berperan dalam menggiring opini publik. Insiden-insiden tragis dalam kegiatan study tour di jadikan alasan utama untuk menjustifikasi pelarangan. Padahal, dalam setahun, jumlah kejadian kecelakaan sangat kecil di banding ribuan perjalanan yang berlangsung lancar.
Fokus pada kasus ekstrem menciptakan ketakutan kolektif yang tidak proporsional. Alih-alih memperkuat sistem mitigasi risiko, publik malah di giring untuk menganggap semua kegiatan di luar sekolah sebagai ancaman. Ini adalah bentuk pembunuhan karakter terhadap kegiatan belajar kontekstual yang seharusnya justru di perluas.
Dalam dunia yang menuntut kreativitas dan pengalaman lintas ruang, pendidikan tidak bisa terus di kurung dalam empat tembok kelas. Study tour bukan musuh. Ketakutan dan kemalasan berpikir lah yang seharusnya di larang.